INSPIRASI, Juwiter...!!! Tenun Pringgesela yang baru saja dan hampir saja memecahkan Rekor MURI melalui kegiatan pemuda setempat melalui Alunan Budaya Desa 3 mendapatkan kesan yang luar biasa dari Adinindyah. Expert dari Lawe itu mengemukakan bahwa semangat masyarakat setempat terkait tenun diapresiasinya.
Wawancara bersamanya, khusus terkait Kelompok Nine Penenun dan sinergi antara pemuda desa Pringgesela yang mewadahi promosi menjadi nilai tersendiri untuk tenun Pringgesela di masa depan. Faktor itulah yang mungkin menjadi vitamin semangat untuknya (Adinindyah - Lawe) Gema Alam NTB, dan RMI melalui pendanaan dari MCA aktif membina salahsatu bagian dari pelestarian budaya tenun (KNP) di desa setempat (Pringgesala).
Ya. Kiprah Tenun Pringgesela yang merupakan salah satu dari jenis kekayaan budaya sudah banyak memberikan manfaat, salah satunya adalah munculnya pembelajaran terkait bagaimana mendorong kelompok untuk belajar terus menerus, bagaimana agar jangan menutup diri dari pengembangan, bagaimana memenejemen produk pasar, pengetahuan dan sebagainya.
Singkatnya keberadaan tenun Pringgesela diantaranya sudah menghasilkan sebuah forum pertukaran pengetahuan yang sangat bermanfaat terkait ragam potensinya.
Terkait Lawe (dari berbagai sumber) memabangun Gagasan untuk menciptakan produk lebih terfokus pada 'apa yang bisa membuat para pengrajin bekerja', tidak semata-mata mendukung kebutuhan pasar, sebuah proses menjembatani antara pengrajin ke pasar. “Di Lawe, kita membangun orang. Bisnis dan produk kami adalah sarana untuk memungkinkan mata pencaharian yang lebih baik bagi mereka yang terlibat,” kata Adinindyah sebagaimana yang dikutip dari Republika.
Menurutnya, kekayaan tenun Indonesia masih bisa dikembangkan lebih lagi demi menarik minat konsumen. Atas dasar itulah, ia berinisiatif mendirikan Perhimpunan Lawe sejak akhir 2014 dengan harapan adanya inovasi anyar dari kualitas tenun Tanah Air.
Lawe membentuk kain dari sederhana hingga berwarna dan bertransformasi dalam bentuk sepatu, tas, bahkan pakaian yang unik dan etnik. Stagen tidak lagi melulu untuk dipasang di perut perempuan sehabis melahirkan. Hal ini dikembangkan oleh Dreamdellion dan Lawe guna memastikan hasil tenun stagen berwarna (rainbow stagen) menjadi alternatif ekonomi yang baik bagi warga setempat daripada mereka melakukan penambangan pasir Kali Progo.
Namun, usaha dan perjuangannya dalam pengembangan kain tenun sebenarnya tak bermula dari 1,5 tahun lalu. Jauh sebelum itu, ketika masih hobi mengunjungi setiap pelosok, ia melihat sendiri beragamnya kain Indonesia. Hal ini membuat matanya terbelalak akan potensi tenun nasional yang belum tergarap dengan maksimal.
Dengan modal awal sekitar Rp 3 juta, dana patungan bersama teman-temannya, pada 2004, ia mendirikan Lawe. Mayoritas modal awal dialokasikan untuk membeli kain. "Dari situ, kita mulai eksperimen untuk produknya, eksplorasi pewarnaan motif, kalau pengembangan produknya, kita bekerja sama dengan kelompok perajin penjahit," katanya.
Kualitas tenun di Lawe ia dorong untuk lebih berani bermain warna, dinamis, dan juga mengangkat potensi lokal suatu daerah. Produk pun dikembangkan tak hanya menjadi secarik kain, tapi juga beragam bentuk, seperti tas, bantal, kantong, hingga home decor. Meski berasal dari Yogyakarta, Adinindyah berusaha mengembangkan kain tenun dari Sumba Timur, Lampung, dan Pontianak.
Ketika mereka mulai mengembangkan produk tak hanya kain, konsumen pun banyak yang tertarik. Apalagi, ketika itu Lawe membuat produk berbeda yang lebih modern dan simpel. Namun, ketika mengetahui harganya, kebanyakan orang mulai menimbang ulang untuk membeli.
"Karena, untuk beli tenun saja sudah tinggi, apalagi setelah diolah jadi produk," ujar dia. Hal itu ia katakan menjadi tantangan tersendiri bagi Lawe.
Pada 2005, Lawe mulai memberanikan diri membawa produknya masuk ke pasar nasional. Namun, tidak sesuai yang dibayangkan lantaran sempat tersendat. Meski sempat pesimistis, ia mengaku tidak patah arang dan kembali memasarkan pada 2007 dengan mempresentasikan sendiri produknya.
"Ternyata, setelah kita presentasikan sendiri, bagus hasil dan responsnya, story behind the product bantu sekali," kata dia. Ia menyebut, justru para ekspatriat yang mengapresiasi hasil tenunnya. Oleh karena itu, Lawe sangat terbantu dengan promosi cuma-cuma yang dilakukan para ekspatriat.
Sempat merasakan jatuh bangun sejak awal berdiri, baru pada 2010 Lawe sudah bergerak lebih stabil di mana produk yang dihasilkan sudah berhasil diterima konsumen tak hanya di Indonesia, tetapi juga pasar internasional.
Bicara strategi pemasaran, Lawe sangat sederhana dengan menguatkan family base dan juga kerabat terdekat. Meski mengenalkan produknya lewat dunia media sosial, Lawe tetap menekankan pada penjualan secara langsung.
Ia beralasan, Lawe tidak hanya menjual produk, tetapi juga membangun kedekatan personal dengan para pembelinya. Pembeli bahkan tertarik dan mengajak kerja sama untuk mengadakan program, seperti penyuluhan pembuatan kerajinan tangan di daerah asal pembeli.
Pasar nasional, Lawe memfokuskan diri di Jakarta, Yogyakarta, dan beberapa titik di Bali. Sedangkan, untuk pasar internasional, produk Lawe sudah melanglang buana hingga ke Jepang, Belgia, Australia, hingga Amerika Serikat.
Mengenai keberhasilan menembus pasar dunia, ia mengaku mendapat dukungan dari jaringan antarteman sehingga sangat terbantu. Meski begitu, Lawe sangat selektif dalam memasarkan produknya ke luar dan memperhitungan dengan masak.
Ada cerita menarik saat mengikuti pameran di Vietnam. Ia mengaku mendapat tawaran yang sangat menggiurkan dari sebuah perusahaan ritel asal Jepang. Perusahaan yang memiliki 11 ribu gerai tersebut meminta Lawe memasok produknya di setiap gerai yang ada. Keterbatasan SDM membuat Lawe belum bisa menerima tawaran tersebut.
Saat ini, Lawe sudah memiliki 20 outlet yang tersebar di Jakarta, Yogya, dan Bali di mana sebagian besar merupakan kerja sama dengan menitipkan produk Lawe. Omzetnya sendiri per tahun mencapai Rp 2 miliar untuk penjualan lokal dan internasional. Hasil keuntungan, ia katakan, dialokasikan untuk gaji dan juga membeli bahan untuk operasional sebagai stok bahan baku.
Personel yang ada di Lawe saat ini berjumlah 17 orang dengan terbagi di sejumlah divisi. Antara lain, divisi produksi, pemasaran, administrasi, serta dua orang penjahit in house. "Kalau penjahit di rumah masing-masing ada 25 orang," ujar dia.
Ia menerangkan, konsep awal dari Lawe sendiri merupakan community social enterprise di mana keuntungan yang didapat digunakan untuk kepentingan bersama dan juga untuk program pemberdayaan manusia. "Kita sistemnya tim, tim inti di workshop ada 17 orang, kemudian kalau untuk teman bermitra seperti penenun kita kerja sama dengan juga para penjahit," ungkapnya, beberapa waktu lalu. Rata-rata penjahit di Lawe, ia katakan, ibu-ibu yang mengerjakan pesanan di rumah masing-masing. Dengan begitu, para ibu penjahit dapat memiliki waktu lebih banyak bersama keluarganya.
Harapan besar juga ia gantungkan kepada pemerintah. Ia meminta pemerintah membantu usaha berbasis kerajinan tangan seperti ini bisa dengan pengurangan pajak dan juga sarana promosinya. Dengan begitu, ia meyakini keberadaan industri lokal seperti ini akan mampu berkembang lebih pesat yang pada akhirnya mendukung tumbuhnya perekonomian nasional.
Sumber.
www. republika.co.id
www. gemaalamntb.org.
www.laweindonesia.com
Semoga Bermanfaat.
Wawancara bersamanya, khusus terkait Kelompok Nine Penenun dan sinergi antara pemuda desa Pringgesela yang mewadahi promosi menjadi nilai tersendiri untuk tenun Pringgesela di masa depan. Faktor itulah yang mungkin menjadi vitamin semangat untuknya (Adinindyah - Lawe) Gema Alam NTB, dan RMI melalui pendanaan dari MCA aktif membina salahsatu bagian dari pelestarian budaya tenun (KNP) di desa setempat (Pringgesala).
Ya. Kiprah Tenun Pringgesela yang merupakan salah satu dari jenis kekayaan budaya sudah banyak memberikan manfaat, salah satunya adalah munculnya pembelajaran terkait bagaimana mendorong kelompok untuk belajar terus menerus, bagaimana agar jangan menutup diri dari pengembangan, bagaimana memenejemen produk pasar, pengetahuan dan sebagainya.
Singkatnya keberadaan tenun Pringgesela diantaranya sudah menghasilkan sebuah forum pertukaran pengetahuan yang sangat bermanfaat terkait ragam potensinya.
Terkait Lawe (dari berbagai sumber) memabangun Gagasan untuk menciptakan produk lebih terfokus pada 'apa yang bisa membuat para pengrajin bekerja', tidak semata-mata mendukung kebutuhan pasar, sebuah proses menjembatani antara pengrajin ke pasar. “Di Lawe, kita membangun orang. Bisnis dan produk kami adalah sarana untuk memungkinkan mata pencaharian yang lebih baik bagi mereka yang terlibat,” kata Adinindyah sebagaimana yang dikutip dari Republika.
Menurutnya, kekayaan tenun Indonesia masih bisa dikembangkan lebih lagi demi menarik minat konsumen. Atas dasar itulah, ia berinisiatif mendirikan Perhimpunan Lawe sejak akhir 2014 dengan harapan adanya inovasi anyar dari kualitas tenun Tanah Air.
Lawe membentuk kain dari sederhana hingga berwarna dan bertransformasi dalam bentuk sepatu, tas, bahkan pakaian yang unik dan etnik. Stagen tidak lagi melulu untuk dipasang di perut perempuan sehabis melahirkan. Hal ini dikembangkan oleh Dreamdellion dan Lawe guna memastikan hasil tenun stagen berwarna (rainbow stagen) menjadi alternatif ekonomi yang baik bagi warga setempat daripada mereka melakukan penambangan pasir Kali Progo.
Namun, usaha dan perjuangannya dalam pengembangan kain tenun sebenarnya tak bermula dari 1,5 tahun lalu. Jauh sebelum itu, ketika masih hobi mengunjungi setiap pelosok, ia melihat sendiri beragamnya kain Indonesia. Hal ini membuat matanya terbelalak akan potensi tenun nasional yang belum tergarap dengan maksimal.
Dengan modal awal sekitar Rp 3 juta, dana patungan bersama teman-temannya, pada 2004, ia mendirikan Lawe. Mayoritas modal awal dialokasikan untuk membeli kain. "Dari situ, kita mulai eksperimen untuk produknya, eksplorasi pewarnaan motif, kalau pengembangan produknya, kita bekerja sama dengan kelompok perajin penjahit," katanya.
Kualitas tenun di Lawe ia dorong untuk lebih berani bermain warna, dinamis, dan juga mengangkat potensi lokal suatu daerah. Produk pun dikembangkan tak hanya menjadi secarik kain, tapi juga beragam bentuk, seperti tas, bantal, kantong, hingga home decor. Meski berasal dari Yogyakarta, Adinindyah berusaha mengembangkan kain tenun dari Sumba Timur, Lampung, dan Pontianak.
Ketika mereka mulai mengembangkan produk tak hanya kain, konsumen pun banyak yang tertarik. Apalagi, ketika itu Lawe membuat produk berbeda yang lebih modern dan simpel. Namun, ketika mengetahui harganya, kebanyakan orang mulai menimbang ulang untuk membeli.
"Karena, untuk beli tenun saja sudah tinggi, apalagi setelah diolah jadi produk," ujar dia. Hal itu ia katakan menjadi tantangan tersendiri bagi Lawe.
Pada 2005, Lawe mulai memberanikan diri membawa produknya masuk ke pasar nasional. Namun, tidak sesuai yang dibayangkan lantaran sempat tersendat. Meski sempat pesimistis, ia mengaku tidak patah arang dan kembali memasarkan pada 2007 dengan mempresentasikan sendiri produknya.
"Ternyata, setelah kita presentasikan sendiri, bagus hasil dan responsnya, story behind the product bantu sekali," kata dia. Ia menyebut, justru para ekspatriat yang mengapresiasi hasil tenunnya. Oleh karena itu, Lawe sangat terbantu dengan promosi cuma-cuma yang dilakukan para ekspatriat.
Sempat merasakan jatuh bangun sejak awal berdiri, baru pada 2010 Lawe sudah bergerak lebih stabil di mana produk yang dihasilkan sudah berhasil diterima konsumen tak hanya di Indonesia, tetapi juga pasar internasional.
Bicara strategi pemasaran, Lawe sangat sederhana dengan menguatkan family base dan juga kerabat terdekat. Meski mengenalkan produknya lewat dunia media sosial, Lawe tetap menekankan pada penjualan secara langsung.
Ia beralasan, Lawe tidak hanya menjual produk, tetapi juga membangun kedekatan personal dengan para pembelinya. Pembeli bahkan tertarik dan mengajak kerja sama untuk mengadakan program, seperti penyuluhan pembuatan kerajinan tangan di daerah asal pembeli.
Pasar nasional, Lawe memfokuskan diri di Jakarta, Yogyakarta, dan beberapa titik di Bali. Sedangkan, untuk pasar internasional, produk Lawe sudah melanglang buana hingga ke Jepang, Belgia, Australia, hingga Amerika Serikat.
Mengenai keberhasilan menembus pasar dunia, ia mengaku mendapat dukungan dari jaringan antarteman sehingga sangat terbantu. Meski begitu, Lawe sangat selektif dalam memasarkan produknya ke luar dan memperhitungan dengan masak.
Ada cerita menarik saat mengikuti pameran di Vietnam. Ia mengaku mendapat tawaran yang sangat menggiurkan dari sebuah perusahaan ritel asal Jepang. Perusahaan yang memiliki 11 ribu gerai tersebut meminta Lawe memasok produknya di setiap gerai yang ada. Keterbatasan SDM membuat Lawe belum bisa menerima tawaran tersebut.
Saat ini, Lawe sudah memiliki 20 outlet yang tersebar di Jakarta, Yogya, dan Bali di mana sebagian besar merupakan kerja sama dengan menitipkan produk Lawe. Omzetnya sendiri per tahun mencapai Rp 2 miliar untuk penjualan lokal dan internasional. Hasil keuntungan, ia katakan, dialokasikan untuk gaji dan juga membeli bahan untuk operasional sebagai stok bahan baku.
Personel yang ada di Lawe saat ini berjumlah 17 orang dengan terbagi di sejumlah divisi. Antara lain, divisi produksi, pemasaran, administrasi, serta dua orang penjahit in house. "Kalau penjahit di rumah masing-masing ada 25 orang," ujar dia.
Ia menerangkan, konsep awal dari Lawe sendiri merupakan community social enterprise di mana keuntungan yang didapat digunakan untuk kepentingan bersama dan juga untuk program pemberdayaan manusia. "Kita sistemnya tim, tim inti di workshop ada 17 orang, kemudian kalau untuk teman bermitra seperti penenun kita kerja sama dengan juga para penjahit," ungkapnya, beberapa waktu lalu. Rata-rata penjahit di Lawe, ia katakan, ibu-ibu yang mengerjakan pesanan di rumah masing-masing. Dengan begitu, para ibu penjahit dapat memiliki waktu lebih banyak bersama keluarganya.
Harapan besar juga ia gantungkan kepada pemerintah. Ia meminta pemerintah membantu usaha berbasis kerajinan tangan seperti ini bisa dengan pengurangan pajak dan juga sarana promosinya. Dengan begitu, ia meyakini keberadaan industri lokal seperti ini akan mampu berkembang lebih pesat yang pada akhirnya mendukung tumbuhnya perekonomian nasional.
Sumber.
www. republika.co.id
www. gemaalamntb.org.
www.laweindonesia.com
Semoga Bermanfaat.