Sejarah Mading (Majalah Dinding)

Majalah dinding atau mading dikenal sebagai salah satu jenis media komunikasi massa tulis yang paling sederhana. Disebut majalah dinding karena prinsip dasar majalah terasa dominan di dalamnya, sementara itu penyajiannya biasanya dipampang pada dinding atau yang sejenisnya.

Prinsip majalah tercermin lewat penyajiannya, baik yang berwujud tulisan, gambar, atau kombinasi dari keduanya.

Soal sejarah mading, redaksi mengutip halaman rumahbacakomunitas, yang berisi pengalaman pertama kali membaca tulisan yang sama sekali berbeda dengan buku pelajaran SD yang ia baca di “mading’.

Banyak tulisan dipadu dengan gambar, puisi yang dibingkai, agenda kegiatan sekolah yang warna warni disajikan di papan berkaca setinggi leher orang dewasa. Untuk anak-anak SD, tentu hanya bisa menjangkau yang pendek-pendek.

Disampaikan, Kebetulan sekolah kami satu kompleks dengan SMP dan SMA jadi apa pun denyut nadi kegiatan kami yang kecil-kecil sedikit banyak turut merayakannya. Saya, waktu itu, yang masih kelas 4 SD yang baru sedikit lancar membaca tidak tahu apa arti mading sampai SMP baru tahu kepanjangan mading itu apa. Orang-orang selalu menyebutnya mading.

Dengan prinsip dasar bentuk kolom-kolom, bermacam-macam hasil karya, seperti lukisan, vinyet, teka-teki silang, karikatur, cerita bergambar, dan sejenisnya disusun secara variatif. Semua materi itu disusun secara harmonis sehingga keseluruhan perwajahan mading tampak menarik. Bentuk fisik mading biasanya berwujud lembaran tripleks, karton, atau bahan lain dengan ukuran yang beraneka ragam.

Sejarah Mading


Sejak zaman dulu, manusia sudah senang menyampaikan informasi satu sama lain. Selain untuk bertukar kabar, informasi yang disampaikan itu bisa sekaligus untuk menunjukkan keberadaan. Pada zaman batu, misalnya, manusia sudah menggunakan dinding-dinding gua untuk menyampaikan informasi tersebut. Ini barang kali yang bisa jadi rujukan sejarah awal mula majalah dinding dalam versi bahuela. Belum ada informasi yang valid kapan mading ‘modern’ pasca dinding gua itu dilahirkan. Menurut wikipedia, pada awalnya wall magazine itu hadir di institusi pendidikan sebagai board notice.

Lewat mading ala manusia zaman batu itu pula kita bisa mencatat bagaimana peradaban manusia pada saat itu. Kita bisa melihat bagaimana hubungan antara manusia dengan alam termasuk hewan dan tumbuhan, juga manusia dengan manusia itu sendiri. Kita bisa melihat kebudayaan manusia pada masa itu lewat lukisan di dinding gua itu. Begitulah, informasi itu sekaligus sebagai dokumentasi tentang kebudayaan mereka.

Kalau manusia pada zaman batu mengenal relief atau lukisan di dinding gua sebagai media informasi, maka murid-murid sekolah sekarang mengenal mading. Fungsinya tak jauh-jauh beda, sebagai media informasi sekaligus untuk berekspresi. Mading juga bagian dari sebuah media klasik maupun kontemporer. Sebuah catatan menuliskan bahwa:

    The tradition of wall decoration dates back to Egyptian and Roman wall painting. Centuries later, and particularly in cooler climates, people used fabric to cover walls and windows to keep drafts out. In the homes of the well-to-do, these fabrics were elaborate, resplendent tapestries, which also adorned the walls of European palaces and castles. They were not only practical, but decorative.

Pada umumnya, mading mempunyai beberapa karakter umum.

Pertama, Ukuran Mading.


Biasanya ukuran yang tergolong relatif besar adalah 120 cm x 240 cm, sedang yang lebih kecil lagi disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Fungsi majalah dinding yang tampak pokok sebagai salah satu fasilitas kegiatan siswa secara fisikal dan faktual serta memiliki sejumlah fungsi, yaitu :informatif, komunikatif, rekreatif, dan kreatif. Nuansa edukasi jelaslah sangat kental dalam mading.


Kedua, mading biasanya dikelola secara kolektif.


Seperti media cetak pada umumnya, pengelolaan mading terdiri dari tiga tahap penting yaitu perencanaan, produksi, dan evaluasi. Perencanaan ini meliputi perencanaan tema dan desain. Sedangkan produksi antara lain pengumpulan informasi (riset, reportase, dan wawancara), penulisan (termasuk editing), dan desain mulai dari layout, foto, dan ilustrasi.

Adapun evaluasi bisa berupa evaluasi proses, redaksional, dan desain mading.

Untuk mengelola dengan baik, tim mading harus terdiri dari orang-orang yang bertugas untuk masing-masing proses yaitu Manajemen, Redaksi, dan Desain. Itu sih idealnya. Kalau kepepet dan kurang orang ya bisa saja saling merangkapi.



Ketiga, terbit berkala.

Mading dikelola oleh sebuah tim dengan kala waktu terbit yang lebih lama. Biasanya jarak antar edisi bisa mingguan, bulanan, atau berapa bulan tertentu. Waktu terbit ini disesuikan dengan kemampuan masing-masing tim yang biasanya dipengaruhi banyak faktor. Di sekolah sih ya tergantung jadwal sekolah, jadwal pacaran, dan paling penting mood.  Sebab karena sifatnya yang non komersial dan sebagai sarana belajar, banyak pengelola mading yang mengerjakannya tidak terlalu kaku pada waktu.

Hal ini yang menjadikan mading tampil lebih lama di dinding. Kalau koran ditujukan untuk menyampaikan berita-berita yang sangat cepat berubah, maka mading lebih banyak memuat informasi yang lebih awet (timeless). Ini dilakukan karena kala terbit mading yang agak lama sehingga perlu informasi yang tidak cepat basi.

Kalau informasi yang disampaikan cepat basi, seperti peristiwa, maka mading akan ketinggalan dengan media lain. Selain materi yang disampaikan, gaya tulisan di mading juga mempertimbangkan keawetan ini. Dalam sebuah mading, gaya bahasa yang dipakai haruslah lebih populer dan santai.



Keempat, terdapat Rubrikasi.


Sebagai sebuah media, mading juga memiki rubrikasi. Ibarat rumah, rubrik adalah pembagian ruangan agar fungsional dan estetis. Di mading pun begitu. Semua informasi yang disampaikan dalam mading dibagi dalam beberapa rubrik sehingga memudahkan pembaca untuk membaca informasi yang disampaikan.

Kelima, ciri yang paling membedakan antara mading dengan media lainnya adalah bentuknya.



Pada dasarnya, mading berada pada sebuah bidang datar yang ditempel di dinding. Bidang datar ini bisa berupa papan, stereoform, dan seterusnya. Namun dalam perkembangannya, bidang dua dimensi ini makin bergeser ke arah tiga dimensi. Ada misalnya mading yang meniru bentuk bangunan, logo, benda, dan seterusnya. "Menurut saya sih bentuk-bentuk itu tetap diperkenankan selama tidak menghilangkan fungsi paling penting dari sebuah media, penyedia informasi," lanjut penulis David Efendi.

Dengan adanya mading, bermacam informasi dapat disampaikan secara mudah ke seluruh wilayah sesuai dengan lingkup yang direncanakan. Dengan membaca mading, banyak hal yang semula tidak diketahui akhirnya menjadi perbendaharaan pengetahuan, baik yang bersifat praktis maupun yang perlu perenungan. Dunia akan menjadi luas bila kita senang membaca. Untuk itu, kegemaran membaca harus ditanamkan.

Dalam hal ini mading punya andil yang besar. Mading dapat tampil setiap saat tanpa dihadang oleh sejumlah kesulitan. Mading dapat diterbitkan oleh siapa saja dalam jangka waktu yang relatif bebas tergantung animo pembaca.

Kalau pembacanya menghendaki, mading dapat ditampilkan setiap hari dengan materi tulisan yang bersifat aktual sesuai lingkungan. Apabila minat baca dan atensi menulis masyarakat sedang-sedang saja, mading dapat diganti tiap bulan atau minggu atau kelipatannya. Selain itu, mading juga dapat merangsang minat menulis, selain membaca.

Banyak penulis yang menggunakan media mading sebagai wahana berlatih. Berawal dari senang menulis hal-hal yang sederhana, tidak mustahil seseorang menjadi terbuka wawasannya untuk lebih mengembangkan kesenangannya dalam bidang kepenulisan secara lebih profesional.

Dalam berbagai konten yang terdapat pada Mading, terdapat satu manfaat penting bagi pihak sekolah maupun organisasi atau institusi lain yaitu apa yang disebut hari ini sebagai ‘good governance’ di mana ada komunikasi yang tranparan antar stakeholder secara terbuka. Mading bisa jadi adalah suatu kewajiban bagi penyelenggara pelayanan sebagai upaya memperbaiki kualitasnya. Kini terdapat kanal mading online dan offline. Di Yogyakarta dulu ada namanya ‘korang dinding’ yaitu karya mading sekolah yang ditampilkan di koran lokal versi massal.


Fungsi lainnya adalah bahwa kehadiran mading bisa menjadi media yang sangat potensial sekaligus mampu menghindarkan kesalahan persepsi.

Fungsi ini sangat unik dan terbukti di zaman yang serba IT dan banjir bandang informasi melalui gadget toh mading masih bertahan menahan gempuran zaman. long live Mading! tutupnya